Minggu, 16 Agustus 2020

Sesekali

September, 2019

Sesekali,
setiap mendengar pembahasan masa lalu itu lagi dan lagi, aku merasa bahwa aku hanyalah wanita beruntung yang diperbolehkan memilikimu, bukan beruntung karena dicintaimu begitu dalam.

Aku merasa kalah soal waktu, dimana orang-orang terlebih dahulu mengenalnya di banding aku. Aku merasa kalah tempat, dimana aku tinggal di tempat ia dulu pernah singgah. Aku merasa kalah, karena dia lebih dulu dicintai dibanding aku. Aku merasa kalah karena terkadang kamu begitu bersemangat menceritakan tentangnya pada teman lamamu.

Lalu, bagaimana bila sebaliknya?
Ada orang yang lebih dahulu mengenal aku dibanding denganmu, dimana kamu tinggal di tempatnya singgah dulu dan orang lainpun mengenalnya terlebih dahulu dibanding kamu. Aku juga pernah mencintai orang lain sebelum kamu, tapi aku lebih memilih meninggalkannya dan tak membahasnya untuk menjaga perasaanmu.

Sesekali,
aku berusaha untuk menutupi kekesalanku dengan pura-pura nimbrung. Toh, orang-orang yang bertanya itu juga akan puas meneguk cerita setelah beberapa jam berkunjung saja kan? Lagipula aku tinggal di tempatnya pernah singgah, jadi memang aku pemeran tambahan dalam ceritamu. Dimana aku adalah pemeran alur maju yang selalu terkait dengan alur mundur dalam hidupmu.

Sesekali,
aku merasa benci setelah kamu bersemangat menceritakannya pada teman lamamu. Aku benci karena mereka tau dia pernah dimiliki dan dicintai begitu dalam olehmu, sedangkan aku? Aku benci diceritakan bisa memilikimu seolah karena keberuntungan saja. 

Aku sadar bahwa aku bukanlah seseorang yang dapat diceritakan olehmu betapa kau mencintaiku begitu dalam seperti saat tanpa sadar kau bercerita bahwa ia adalah sosok yang kamu cintai begitu dalam dan nyaris kau miliki. 
Aku sadar bahwa aku bukanlah seseorang yang dapat diceritakan olehmu seberapa sulitnya mempertahankan seperti saat kau bercerita bahwa kau begitu berusaha mempertahankannya.
Aku sadar bahwa aku bukanlah seseorang dapat diceritakan olehmu seberapa sulitnya kau memperjuangkan seperti saat kau begitu berusaha memperjuangakannya.
Aku sadar bahwa aku menjadi tempatmu berakhir, karena seseorang yang menjadi mulamu harus terpaksa kau akhiri.

Sesekali,
Aku merasa bahwa aku menjadi kuat karena doa yang kupanjatkan sendiri untuk jodohmu di lauh mahfudz yang ternyata adalah diriku sendiri.
Aku menjadi kuat karena aku ingat betapa tulusnya aku mendoakanmu dulu. Aku ingat juga betapa diam-diam aku selektif mencocokkan wanita yang berdiri disebelahmu sedang aku sendiri tidak pernah mencocokkan diriku sendiri saat berdiri disebelahmu.
Aku menjadi kuat karena aku ingat betapa berat mengatakan 'tidak' saat kau memintaku menjadi istrimu dulu.
Aku menjadi kuat karena aku tak menyakitimu dengan cerita-cerita masa laluku.
Aku menjadi kuat karena aku ingat betapa aku selalu menganggap wanita yang memilikimu adalah wanita beruntung.

Padahal,
Jauh sebelum terbersit tanda bahwa aku akan menjadi milikmu, aku telah berusaha menjadi kuat hati tanpa bantuan orang lain. Aku menjadi tak perduli lagi soal cinta cinta yang menurutku hanya mempermainkan hatiku saja.

Kau tau, bahwa pernikahan menjadi wadah dimana akan ku tumpahkan semua cinta pada orang yang menjadi suamiku kelak?

Sejak hari pertama kau tidur disampingku, aku tak bisa tertidur lelap. Sesekali aku terbangun, menatap wajahmu dalam dan pura2 memejamkan mata lagi. Aku masih separuh sadar bahwa kamu telah menjadi lelakiku. Dalam lamunanku, saat itu aku bertanya tanya apa kau gemar naik sepeda? Naik gunung? Jalan-jalan keliling kota dengan angkutan umum? Atau hanya tidur-tiduran dikasur saat sabtu minggu tanpa mandi seharian?

Ku bayangkan setiap malam akan ku tatap wajah yang menenangkanku itu tidur dengan lelapnya untuk melepas lelah setelah seharian bekerja.  Setiap malam ku bersihkan kacamatamu untuk esok kau bekerja dan mengantarkanmu didepan pintu rumah dengan sekotak bekal makan siang yang ku buatkan untuk bekal kau bekerja di pagi hari. Setelah kamu pulang kerja, ku sambut kamu dengan senyum di depan rumah sembari menawarkan segelas teh hangat. Kita bercengkrama sejenak hingga kau mandi, sholat dan mengaji dengan aku yang merebahkan kepalaku di pahamu.

Aku juga membayangkan tinggal dirumah yang tak mewah namun penuh kasih sayang dan kenyamanan di dalamnya, dimana rumah itu adalah tempat tinggal dan pulang yang tepat untuk kita dan anak-anak kita, dimana akan kita habiskan sore hari bersama dengan anak kita hingga masa tua menjelang.

Sampai pada saat ini aku masih saja hobi menatap dalam wajahmu ketika tidur. Mengecup kecil pipi atau keningmu yang kadang itu membuatmu terbangun. Tapi cinta yang ku anggap mempermainkan hatiku dulu, tak berlaku setelah aku menikah denganmu.

Aku mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku. Entah apapun yang harus ku lakukan jika itu demi kamu dan anakku, aku rela melakukannya. Aku tak merasa dipeemainkan. Kalaupun tak kau cintai aku, aku akan tetap mencintaimu. Karena perasaan ini, tak tahu apa namanya, yang aku tahu aku sangat mencintaimu.

Karena itu, terkadang aku lupa bahwa kamu punya masa lalu. Kamu punya seseorang yang dulu kau cintai dengan sangat, kau banggakan. Hingga, aku lupa bahwa aku hanyalah pemeran baru dalam cerita hidupmu. Sungguh, jika aku boleh berkata, aku muak dengan orang yang bertanya padamu tentang mengapa bukan 'dia?' yang menikah denganmu tapi malah wanita 'ini' yang tentu saja itu aku. Aku muak!

Seandainya mereka tahu apa yang aku lakukan untuk menjaga perasaanmu ketika bersamaku, seandainya mereka tahu apa yang mereka katakan itu menyakitiku, seandainya kamu tau bahwa jawabanmu sungguh menyakitiku mungkin mereka atau kamu tidak akan berani mengucapkan sepatah katapun tentang masa lalu.

Sesekali,
aku menangis diam-diam menahan tajamnya kata dalam satu putaran waktu. Sesekali itu terulang, dan aku menangis diam-diam lagi.

Aku sesak, terisak dalam satu putaran waktu. Putaran waktu masa lalu.

Aku, yang sekian lama berusaha menguatkan diriku sendiri akhirnya sesekali runtuh juga.

Akankah suatu saat aku dibanggakan seperti seseorang itu, dulu? Bisakah aku bisa menjadi topik utama dalam obrolan ceritamu dengan teman lamamu? Akankah bisa kau ceritakan pada temanmu betapa beruntungnya, bahagianya, dan betapa dirimu mencintaiku? Atau....

Sesekali,
Bisakah kalian menghormati perasaan ku?

pare, September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar