Kamis, 29 Mei 2025

Untuk Kamu yang Baru Patah Hati

untuk kamu yang baru patah hati, tulisan ini aku buat ketika aku sedang beranjak pergi. pergi dari hal yang paling aku sukai, pergi dari hal yang paling aku sayangi, dan pergi dari hal yang biasanya menjadi bagian dari dirku sendiri.

untuk kamu yang baru patah hati, bersedihlah semau kamu, tapi jangan pernah lupa untuk tersenyum lagi. karena senyum kamu terlalu indah untuk di hiasi dengan kesedihan atau air mata.

untuk kamu yang baru patah hati, maafkanlah dia yang meninggalkanmu. bersyukurlah, karena tuhan telah memberi petunjuk padanya.

sejatinya, dia yang mencintaimu juga terlalu sakit hatinya untuk meninggalkanmu. tetapi ia lebih mencintai Rabb-nya daripada kamu. karena hanya dengan mencintai Rabb-nya, ia tau, dengannya-lah ia pantas untuk mencintai kamu.
terkadang kamu rindu padanya, dan dia terlihat baik-baik saja. tenanglah wahai engkau yang baru patah hati. sejatinya ia hanya ingin menguatkanmu untuk menjadi lebih kuat dari wanita lainnya.

16/7/17
-dsw-

13 sept 2017

aku bersedia jadi rumah buat kamu. tapi kamu ga sadar untuk tinggal dalem rumah kamu juga harus ngerawat rumahnya. dijaga, dibersihin. apa iya kamu betah tinggal dalem rumah kotor, langitnya bocor, temboknya jamuran, bahkan banyak kecoa apa tikusnya? aku sadar bukan siapa2 kamu. tapi tiap kamu pulang aku pastikan tempat kamu kembali bakal selalu nyaman buat kamu... kalo kamu pergi senang2 diluar, aku cuma nunggu... nunggu kamu pulang... ngetuk daun pintu aku dan nyapa aku, meski cuma nyalain lampu biar aku ga gelap, atau ngepelin sisa air hujan di teras.. tapi kamu ngga.. kamu ga sadar setelah kamu pergi yang ngerapiin aku siapa kalo bukan kamu?
untung aku rumah yang pinter bebenah sendiri, coba kalo ngga? aku udah rata sama tanah dari dulu...
kamu selalu jadi penghuni terbaik buat aku, tapi kenapa aku selalu berantakan? aku cape bebenah, apa salahnya kamu juga bisa jadi penghuni yang baik dan benahin aku sedikit2?  apa aku bukan rumah yg terbaik buat kamu, yang kalo kamu dateng cuma numpang tidur aja?
aku berharap untuk kamu bisa jadi rumah aku, tapi aku berasa ga punya rumah... aku berasa ngerawatin kamu aku berasa bersihin kamu tapi aku sadar kamu bukan rumah aku, kamu cuma kotak kosong bentuk rumah yang ga bersedia untuk aku huni..
kamu tau dari kecil aku pindah rumah berapa kali? dan rasanya gaenak.. sampai sekarang aku punya rumah ternyaman, apa aku juga harus pindah lagi?
definisi pulang yang aku tulis di blog aku sesungguhnya adalah pulang ke kamu, karena kamu tempat ternyaman aku. tapi setiap aku pulang aku selalu terusir dengan sendirinya dari kamu.
kalo seandainya kamu jodoh aku, apa iya kamu bener2 bisa jadi tempat aku berpulang? apa iya aku tempat terbaik untuk kamu? sedangkan untuk sama2 merawat aja rasanya gini.. aku capek, aku ga tahan lagi!

24 Januari 2018

bagi perempuan, urusan telinga adalah hal yang sensitif; dimana dari telinga semua hal kecil akan berubah menjadi hal besar. begitulah kodrat wanita, melihat yang baik atau buruk hanya dengan telinganya. ajaib. sama seperti aku.

telingaku kali ini tak salah, ia masih berfungsi normal seperti biasanya. aku masih bisa mendengar suara orang berbicara, suara rintik hujan, bahkan suara nafas dari diriku sendiri, temasuk kata-kata darinya. aku tahu kelemahan wanita ada pada telinganya. makannya aku tak mau gegabah, aku tak mau ceroboh, aku tak mau jatuh lagi. tetapi kenyataannya aku sungguh jatuh lagi pada ungkapan hati dari orang yang sama selama bertahun-tahun. lama juga rasanya aku tak mendengar ia mengucapnya lagi. ini soal rindu yang ia jamu dengan baik, karena kau pasti tahu bahwa masih banyak rinduku yang tersisa untuknya.
hatiku kembali tersentak, setelah lama ku tak dengar kata itu darinya. aku bisa saja percaya, tapi aku masih curiga. aku tak ingin lekas jatuh dalam buaian, aku ingin menyelamatkan diriku dari jatuh yang kesekian. satu kalimat yang ia ucapkan membuat jamuan rinduku kemarin berbuah manis.. kali ini, akulah yang dirindukannya..
ia bilang rindu, tapi entah aku tak marah seperti biasanya. mungkin karena aku sudah mulai memahami dan menerima kenyataan. rindunya ku jamu lagi tanpa takut jatuh lagi, karena aku tahu merindu adalah pekerjaan orang-orang yang kuat dan menghargai masa lalu. adakah kita merindukan masa depan? nyatanya tidak. kita pasti akan merindu karena masa lalu, bahkan beberapa detik yang terlewat barusan. rindu itu berat, dan pekerjaan bagi orang yang kuat. ku rasa ia sedang dalam tahap ini, menguatkan dirinya, termasuk menguatkanku.
hati mungkin tahu pada siapa sepantasnya ia bertamu. nyatanya ia tetap setia bertamu, hanya pada satu hati yang dengan penuh ia sayangi; itu aku, dan akupun begitu. ada kalanya ia mencoba untuk bertamu pada hati yang lain, tapi nyatanya hati lain hanya jadi tempat singgah dan bukan tempat menetap. hati lain hanya jadi penerima tamu tanpa pernah bisa menjadikan kita pemilik hati sesungguhnya. dan pada ku lah hatinya menetap.
rumah yang selalu ku susun rapi meski porak poranda bisa menjadi saksi betapa aku mencintainya dengan sangat. mungkin rumahnya juga selalu ku porak-porandakan setiap kali aku bertamu, tapi hebatnya semua tak ia keluhkan. hatiku mudah goyah, bukan untuk mencari hati lain, tapi karena kelelahan menahan semuanya sendirian. tapi saat ada dia, semua terasa baik-baik saja. semua terasa tanpa beban dan masalah. aku lega dan dengannya aku merasa sungguh baik-baik saja.
telingaku masih saja tetap percaya bahwa aku adalah rumah tinggal yang paling baik, yang suatu saat akan ia tinggali tanpa pernah pergi lagi. telingaku sadar betapa kata-katanya bisa menjadi pedang untukku yang akan menusukku dengan mudahnya suatu saat, tapi sebelum itu tiba aku sudah siap menerima apapun hasilnya. aku harus menerima bahwa lelah adalah manusiawi, tapi sifat pantang menyerah juga ada pada kodrat manusia bahkan sewaktu belum menjadi 1 sel. jadi aku tak akan menyerah memperjuangkan apa yang memang jadi kebahagiaanku. aku akan terus berjuang sampai saatnya tuhan berkata sudah. karena menyerah tanpa mencoba lagi itu bukan sifatku.
aku selalu percaya bahwa ia yang terbaik. dan hanya dengannya lah kuningin bangun masa depan. dengannya aku seolah punya harapan. dan dengannyalah aku bahagia. karena sejatinya apa yang manusia cari didunia ini jika bukan kebahagiaan, kedamaian, serta ketenangan dalam menjalani hidup? jika boleh ku katakan, ia akan selalu jadi rumah yang tepat untukku pulang.
betapa arogan jika aku selalu marah saat ia pulang karena takut rumah ini akan berantakan lagi, padahal sudah jelas rumah ini akan selalu rapi meski hanya aku sendiri penghuninya. lalu mana kebahagiaan yang ku ucap jika aku tetap tinggal sendirian meski keadaan rumah ini rapi dan sepi sunyi?

5 Jul 2017

malem malem gini biasanya gue berdiri di balkon depan kontrakan, ngeliatin langit jakarta yang ngga pernah ada gelap-gelapnya. ngerasain hawa panas tapi dinginnya angin semilir disini. kadang ada pesawat lewat, dan itu berisik. apa iya langit jakarta ga pernah ada bintangnya? kok dari kemaren2 sepi2 aja ini langit.
di depan gue ada craine gede banget, pekerja konstruksi gitu. mau bikin apartemen kayaknya. kalo aja gue bisa naik itu craine, gue pengen duduk di atasnya. pasti indah bat Jakarta diliat dari atas situ, meskipun ngeri ngeri gitu sih kalo liat ke bawah.
di sela-sela keramaian jakarta gue selalu ngerasa sepi, kenapa ya? kayak ada yang aneh aja. gue suka sepi, tapi ga kaya gini. Entahkenapa ada yang kosong aja gitu dihati gue, padahal emak gue, adek gue lagi kumpul disini. Kayaknya gue gak cocok tinggal di Jakarta. Gue gak ngerasa tenang dan nyaman kalau pulang kesini setelah lama kuliah di jawa tengah. Apa karena gue juga belom nemu zona nyaman gue dan masih nyari-nyari kotak yang bisa jadi tempat gue nyaman dan sembunyi. Rasanya gue pengen punya tempat sembunyi yang bisa bikin gue betah dan ogah pindah. Jadi tempat gue ngerasa aman dan selalu pengen balik lagi kesana sejauh apapun gue pergi. Kadang gue bertanya sama diri gue sendiri, sebenernya gue ini sehat kaga sih? Sehat yang gak cuma sehat jiwa aja, tapi psikis gue sehat juga nggak?

Setelah perceraian ibu bapak, rasanya gue jadi luntang lantung. Anak perempuan pertama yang punya adik masih kecil-kecil harus dipaksa dewasa sebelum waktunya, dipaksa bijak padahal gak pernah belajar ambil keputusan besar, dipaksa kuat padahal patah hati banget rasanya. Gila aja, hal itu udah beberapa tahun lalu, tapi sakitnya masih kerasa sampe sekarang. Every place i go, whenever i with my mom and my sister, it never feels the same. Semua beda, semua berubah. Gue ngerasa sepi. Gue ngerasa ada beban yang gue tanggung, sakit rasanya gak pernah lupa. 

Alhamdulillah, gue beruntung. Gue dikasih emak yang super duper supportive sm gue, dikasih sahabat yang super duper care gaada lawan, dikasih guru yang gak bosen ngingetin kalo gue kudu tetep hormat sama orang tua. Coba kalo nggak? Gantung diri kali gue.. oh iya, someone special yang sekarang nggak nganggep gue special (lagi), itu juga semakin nambah kosongnya hati gue yang penuh sama memori gue dan dia. 

Udahlah, udah terlalu malem. Masih ada besok yang lebih layak gue tunggu.


Catatan 29 Mei 2025

Hal favorit gue sampai sekarang masih sama: duduk di dalam mobil, malam hari, jalan tol sepi, cuma bias lampu yang seliweran lewat kaca. Gak ada suara selain dengungan mesin dan lagu dari headset. Sendirian. Gak ada temen ngobrol, gak ada tujuan jelas. Tapi anehnya, justru di situ gue ngerasa damai.


Dulu, sekitar sepuluh tahun yang lalu, gue sering ngelewatin momen kayak gitu — bukan karena pengen, tapi karena keadaan. Ada rasa cinta yang gue rasain waktu itu, penuh banget, tapi bersamaan juga sama rasa sakit. Gak ngerti juga kenapa bisa berbarengan. Kayak isi hati gue udah tumpah ruah, tapi tetap aja ngilu.


Dan selalu, tiap kali momen itu kejadian, playlist gue nyala otomatis. Lagu-lagu romansa, patah hati, jatuh cinta, perjalanan, sampai lagu-lagu soal melepaskan. Herannya, gue gak pernah niat ganti playlist itu. Padahal kadang sakit sendiri dengerin. Tapi entah kenapa, itu yang paling “gue”. Playlist nongkrong di posisi itu selama bertahun-tahun, kayak teman sejalan yang gak pernah nanya kabar tapi selalu ada.


Dulu, kesepian itu gue benci banget. Rasanya kayak dihukum buat ngerasain semua hal yang gak pengen gue rasain. Tapi sekarang gue malah bersyukur. Karena justru dari situ gue belajar nerima. Belajar dengerin isi kepala gue sendiri. Belajar kalau hidup emang gak harus selalu bisa dijelasin.


Anjrit. Idup sebangsat itu ternyata. Tapi dari situ juga gue tau, ternyata gue bisa bertahan. Hahah.


Gue ga lagi gila, tapi gue sekarang nulis sambil ngobrol sama chat gpt. Niat mau nyembuhin luka lama, bukan sembuh tapi malah bikin ngilu lagi. Gue harus ngorek luka lama, gue bersihin, gue obatin, gue sembuhin sendiri! Kek pen teriak “anjeng!” dengan nada imut.


Gue benci keadaan tapi keadaan ga memberi gue pilihan selain untuk tumbuh dan belajar —itu menurut gue yang selalu terlalu keras sama diri gue sendiri. Gue benci ngorek masa lalu dan mulai untuk sembuhin luka itu, tapi gue lebih benci lagi waktu luka itu sewaktu-waktu ngilu lagi karena gapernah gue kasih pengobatan yang tepat untuk bener2 sembuh. 


Gue mati suri kayaknya — tapi gue pengen hidup. Gue nulis karena gue sadar ada bagian dari diri gue yang masih hidup dan mulai berani bersuara. Selama ini dia bungkam bukan karena ga diberi kebebasan, tapi karena dia terlalu lelah — hanya minta jeda sebelum menjadi hidup lagi lebih dari sebelumnya.


10 tahun lalu, andai dijadikan warna, warna itu abu dengan semburat putih. Ga bener-bener jelas apa yang tegas apa yang lembut. Tapi hari ini, hidup gue warna biru gelap. Itu bagus! Tandanya sedikit lagi menuju ungu gelap kaya warna favorit gue waktu kecil! Oh gue yakin gue dikit lagi bisa sembuh! 


Hari ini gue ngetik tulisan ini dengan penuh berapi-api, sebelum emosi yang lagi meledak ini hilang tanpa jejak. Gue sengaja ngasih ruang buat emosi gue lagi, sama kayak dulu waktu gak ada hal lain yang bisa gue lakuin selain fokus sama diri sendiri.


Sekarang, anak gue udah empat tahun. Gue sama suami hampir tujuh tahun menikah. Tapi anjrit, ternyata gue belum sepenuhnya sembuh. Untungnya, hal ini gak ngaruh apa-apa sama kehidupan rumah tangga kita. Cuma kadang trauma itu ngelunjak, pengen didengerin sedikit aja, kayak menggelitik di dalam hati.


Luka yang dibungkus oleh waktu, aroma, tempat, dan cahaya, emang susah banget buat disembuhin. Aneh ya, kenapa otak bisa nyimpen memori aneh kayak gitu. Padahal kalau mau, seharusnya gak susah banget buat gue hapus. Tapi ya, salah gue juga sih, karena bikin memori itu terlalu dalam sampai gue gamon sendiri sama kenangan itu.


Di luar ingatan, baik atau buruk, waktu ngajarin gue pelajaran penting. Gue jadi ngerti kalau selama ini gue terlalu keras sama diri sendiri. Gue gak ngerti konsep pengobatan jangka panjang untuk diri sendiri. Padahal, gue sekolah di jurusan kesehatan! Hahaha.


Harusnya gue bisa lebih sehat dan sembuh. Tapi gue bukan psikiater. Gue cuma bidan yang menghafal langkah APN aja udah merasa ajaib. Apalagi kalau disuruh masuk sesi curhat-curhatan, itu di luar kemampuan gue. Hahaha.


Gue pengen banget bisa benar-benar sembuh — sampai rasa sakit itu tinggal jadi bekas luka aja. Kadang keliatan, kadang nggak. Tapi gue mau ada di titik di mana saat gue lihat bekas itu, gue tahu: "Iya, gue pernah dilukai. Dan gue pernah ngerasa sakit."


Gue udah memaafkan semuanya, sungguh. Tapi kalau ditanya soal berdamai? Kayaknya belum sepenuhnya bisa. Masih aja memori itu datang sesekali. Lewat mimpi, lewat aroma, lewat cuaca, atau bahkan lewat lagu. Kayak deja vu. Dan tiap datang, rasanya ngilu lagi — iya, beneran ngilu lagi.


Dari semua kepahitan, luka, dan cinta yang pernah gue rasa, playlist itu masih setia nemenin. Masih aja menggema di telinga gue, pelan-pelan, kayak bisikan masa lalu yang nggak pernah bener-bener pergi. Mobil yang gue naikin terus melaju, nembus lampu-lampu jalan tol yang kadang bikin mata gue perih. Perjalanan ini udah lumayan jauh. Mungkin sebentar lagi sampe.


Udaranya makin dingin. Kayaknya ini udah menjelang pagi.


Sepuluh tahun lalu, playlist itu masih kedengeran kenceng banget. Hari ini, suaranya udah mulai sayup, samar — kayak nunggu gue terlelap, biar bisa bangun buat perjalanan gue selanjutnya.


Hari ini gue sadar, dari semua hal yang pernah gue tolak, lari dari, bahkan benci... justru itu yang sekarang jadi bagian penting dari gue. Bukan karena indah, tapi karena nyata. Dan ternyata, dikenang pun gak selalu bikin luka berdarah lagi.


Kalaupun berdarah lagi, gapapa banget. Sekacau apapun kamu hari ini, aku selalu sayang kamu, Di! Terimakasih! Yuk matiin survival mode-nya. Perjalanan kamu di tempat yang “kamu ga dituntut jadi apa-apa” menanti kamu.