Selamat malam, aku lentera dengan setitik api kecilnya.
Malam ini aku gusar tak seperti biasanya. Aku seperti tak akrab dengan malam,
padahal... aku... api... lentera... dan malam... harusnya menjadi akrab atau
mungkin mendarah daging..
Kegusaranku semakin jelas dengan dinginnya angin malam,
merasuk sumbu-sumbu hitamku. Rasanya seperti ia ingin memadamkanku, tapi seperti enggan.
Ya, ia angin..
Aku mencintai angin layakya sahabatku matahari yang begitu
mencintai malam. aku dan angin sungguh terpaut jauh, sama seperti mentari dan
malam, ia saling mencintai tapi kebersamaannya pasti diragukan..
Apa yang aku harapkan dari pecinta sepertiku? Angin terlalu
sibuk dengan liarnya menjadi dirinya. Kadang menjadi penyejuk, kadang menjadi
pengamuk, kadang ia dirindukan kehadirannya, kadang ia pun dibenci
kedatangannya. Tapi tidak untuk aku, api..
Aku tak bisa mencintai angin dengan keliarannya, aku hanya
bisa mencintai angin lewat kesunyian diantara minyak-minyak yang berceceran di
tubuhku. Tanpa angin, aku hidup. Dan dengan angin, kusambut kematianku.
Begitulah aku mengartikan cintaku dengan angin yang sekarang
mulai semakin liar mengayun-ayunkan jendela dan kokohnya tubuhku. Ia menyapaku,
tapi tak bisa mendekatiku, lalu ia pergi lagi...
Ada saat dimana bintang dan malam datang pas langit sedang
cerah-cerahnya. Mereka bergosip tentang makhluk daratan yang sibuk kegerahan.
Kutanya kemana perginya angin, tak biasanya ia menghilang dan pergi. Lalu
mereka menjelaskan bahwa angin pergi ke laut, merenungkan diri sambil bertugas
membantu makhluk darat mencari nafkah.
Angin kembali pergi... dan itu yang menjadi kegusaranku.
Angin hilang lagi, dan makhluk daratan jadi berisik. Angin pergi lagi... dan
rasanya aku rindu kedatangannya. Angin lenyap lagi, tak berbekas, tak terasa
dan tak terjejas..
Kehilangan adalah ruang kosong sejenak, entah kapan akan terisi.
BalasHapus