Kamis, 24 Agustus 2017

angin hilang lagi?

Selamat malam, aku lentera dengan setitik api kecilnya. Malam ini aku gusar tak seperti biasanya. Aku seperti tak akrab dengan malam, padahal... aku... api... lentera... dan malam... harusnya menjadi akrab atau mungkin mendarah daging..
Kegusaranku semakin jelas dengan dinginnya angin malam, merasuk sumbu-sumbu hitamku. Rasanya seperti ia ingin memadamkanku, tapi seperti enggan.
Ya, ia angin..
Aku mencintai angin layakya sahabatku matahari yang begitu mencintai malam. aku dan angin sungguh terpaut jauh, sama seperti mentari dan malam, ia saling mencintai tapi kebersamaannya pasti diragukan..
Apa yang aku harapkan dari pecinta sepertiku? Angin terlalu sibuk dengan liarnya menjadi dirinya. Kadang menjadi penyejuk, kadang menjadi pengamuk, kadang ia dirindukan kehadirannya, kadang ia pun dibenci kedatangannya. Tapi tidak untuk aku, api..
Aku tak bisa mencintai angin dengan keliarannya, aku hanya bisa mencintai angin lewat kesunyian diantara minyak-minyak yang berceceran di tubuhku. Tanpa angin, aku hidup. Dan dengan angin, kusambut kematianku.
Begitulah aku mengartikan cintaku dengan angin yang sekarang mulai semakin liar mengayun-ayunkan jendela dan kokohnya tubuhku. Ia menyapaku, tapi tak bisa mendekatiku, lalu ia pergi lagi...
Ada saat dimana bintang dan malam datang pas langit sedang cerah-cerahnya. Mereka bergosip tentang makhluk daratan yang sibuk kegerahan. Kutanya kemana perginya angin, tak biasanya ia menghilang dan pergi. Lalu mereka menjelaskan bahwa angin pergi ke laut, merenungkan diri sambil bertugas membantu makhluk darat mencari nafkah.

Angin kembali pergi... dan itu yang menjadi kegusaranku. Angin hilang lagi, dan makhluk daratan jadi berisik. Angin pergi lagi... dan rasanya aku rindu kedatangannya. Angin lenyap lagi, tak berbekas, tak terasa dan tak terjejas..

angin pergi lagi?

Hei, angin..
Baik-baik sajakah kamu?
Aku disinipun baik, terhitung semenjak engkau pergi dan tak datang lagi menghampiri. Terhitung semenjak hari itu, aku benar-benar beranjak pergi. Pergi darimu yang nampaknya sudah tak ingin lagi menghampiri aku dalam kegelapan tempat dan kesendirian ini. Angin, apakah ini yang dinamakan kehilangan, dimana gelak tawamu yang biasanya riang mengiang-ngiang di telingaku tiba-tiba saja hilang? Angin, aku rindu, ketika kau datang dan mengusap lembut sedikit celah dari aku si Api yang akan mati pada masanya.
Angin, aku pergi ketika yang lain benar-benar memaksaku untuk meyakinkan diriku tentangmu. Aku pun tahu, kau tak pernah benar-benar ingin beranjak pergi dariku. aku adalah sebagian darimu, tanpamu aku hanya butiran arang-arang hitam yang tersulut bara merah tanpa nyalanya. Aku hanya sebuah kepulan asap yang gagal menjadi api. Tetapi aku juga sadar, aku adalah yang paling lemah saat berada di dekatmu, menjadi hilang dan mati, atau memakan dan membakar yang lain.
Angin, aku tak pernah benar-benar bisa meninggalkanmu karena kamu, seperti hidupku sendiri. ragaku bisa saja hilang dari hadapanmu, tapi di sisi yang lain, jauh dibelahan bumi lain, hatiku masih mendoakanmu disepanjang malamku. Aku tak pernah sekjap-pun tidak mencari tahu keadaanmu, meski hanya bertanya dengan daun yang tertiup olehmu dan gugur disampingku, atau melihat sisa-sisa embun hasil kegembiraanmu dengan hujan. Selagi aku tahu kau baik-baik saja, aku lega..
Aku hanya ingin kau bagia wahai anginku, tetapi masih terlalu banyak pergelutan kata “tetapi” yang belum pernah bisa aku tuntaskan dengan hatiku. Masih banyak kata “jika” yang enggan terhapus dari fikiran si sentir di pojok ruang gelap ini.
Angin, tanpa Allah kita tak akan pernah menjadi kita. Aku sebagai api dan kamu sebagai angin. Aku dengan kegunaanku dan kamupun sama. Dibawah bumi Allah-lah aku dan kamu bertemu dan seolah-olah mnjadi satu dalam kekuasaannya.
Pernah aku berfikir, jika kamu benar-benar mencintai aku. Kamu pasti telalu sakit untuk menghilang dan tak pernah menemuiku lagi. Ketika aku merindukanmu, kamu lebih merindukanku, tetapi kau tak pernah bicara. Kau hanya ingin aku menjadi lebih kuat dari api kecil lain di bumi ini, kau ingin aku menjadi lebih setia dan penyabar melebihi api lain di dunia ini. Kau ingin menjadikanku api yang lebih kuat bertahan saat diterpa angin yang lain. Kau ingin menjadikanku api yang lebih tenang saat disulut dengan bahan bakarnya. Begitulah sekiranya, hanya untuk menenangkan hatiku yang begitu membara.
Cerita cerita tentang keberadaanmu sudah berbekas dari serpihan abu dari baraku. Entah, mungkin semakin lama ia semakin habis, lapuk dan terlupakan. Tetapi aku tidak, aku diam, tapi aku tak pernah lupa bagaimana kau pernah berada disampingku. Bagaimana cara tuhan mempertemukanku denganmu waktu itu. Aku bersyukur, darimu aku belajar rasa sabar, menjadi setitik api yang selalu berada disini dan setia mendoakanmu yang mungkin tak pernah lagi jadi teman di sepiku. Darimu juga aku belajar bagaimana rasa pahit dan getirnya berjuang sendiri, bagaimana pedihnya diam dan menanti engkau yang tak pernah lagi menghampiri.
Sudahlah.. sepertinya cukup banyak aku bergulat dalam diamku malam ini. Semoga kau selalu terlelap dalam bahagiamu entah dimanapun kau berada. Selamat malam, karena esok pagi ku pergi lagi berganti dengan mentari.
-dsw-
Wsb, 14-7-17